KEBENARAN ILMIAH

KEBENARAN ILMIAH

BAB I PENDAHULUAN

Manusia selalu berusaha menemukan kebenaran, beberapa cara ditempuh untuk memperoleh kebenaran antara lain dengan menggunakan rasio seperti para rasionalis dan melalui pengalaman  atau secara empiris .Pengalaman-pengalaman yang diperoleh manusia membuahkan prinsip-prinsip yang lewat penalaran rasional agar kejadian-kejadian yang berlaku dialam itu dapat dimengerti.

Struktur pengetahuan manusia menunjukkan tingkatan-tingkatan dalam hal menangkap kebenaran .Setiap tingkat pengetahuan dalam struktur tersebut menunjukkan tingkat kebenaran yang berbeda. Tingkat pengetahuan yang dianggap lebih tinggi adalah pengetahuan rasional dan intuitif .Sedangkan tingkatan  yang dianggap lebih rendah dalam menangkap kebenaran adalah pengetahuan indera dan naluri karena tidak terstruktur dan pada umumnya kabur. Oleh sebab itu pengetahuan harus dilengkapi dengan pengetahuan yang lebih tinggi.

Proses pencarian kebenaran tentu bukan hal yang mudah dan dapat dikatakan merupakan proses yang sangat melelahkan, bahkan bukan tidak mungkin akan mendatangkan keputusasaan .Manusia yang pada dasarnya adalah makhluk yang selalu bertanya dan selalu merasa ingin tahu pada akhirnya memutuskan untuk tetap selalu mencari kebenaran, tidak peduli betapa keputusasaan telah mengepungnya  dari berbagai sudut penjuru.Tujuan akhirnya adalah kebenaran harus ditemukan.

Dan akibat dari keputusasaan itu, pada akhirnya manusia mulai berani berspekulasi tentang kebenaran dan mulai mengurai definisi-definisi tentang kebenaran.”Inilah kebenaran ! inilah kebenaran ! marilah bergabung dalam barisan kami, maka kalian akan menemukan cahaya kebenaran !”.Maka mau tidak mau , suka tidak suka , like or dislike, kebenaran pun terkurung dalam penjara definisi yang tentu saja sangat subyektif.[1]

Kebenaran ilmiah muncul dari hasil penelitian ilmiah dengan melalui prosedur baku berupa tahap-tahapan untuk memperoleh pengetahuan ilmiah yang berupa metodologi ilmiah yang sesuai dengan sifat dasar ilmu[2]

Kebenaran yang diperoleh secara mendalam berdasarkan proses penelitian dan penalaran logika ilmiah. Kebenaran ilmiah ini dapat ditemukan dan diuji dengan pendekatan pragmatis, koresponden, koheren, dll.[3]

BAB II ARTI KEBENARAN

Kebenaran adalah soal kesesuaian antara apa yang diklaim sebagai diketahui dengan kenyataan yang sebenarnya.Benar dan salah adalah soal sesuai tidaknya apa yang dikatakan dengan kenyataan sebagaimana adanya.Secara umum orang merasa bahwa tujuan pengetahuan adalah untuk mencapai kebenaran .Problematik mengenai kebenaran merupakan masalah yang mengacu pada tumbuh dan berkembangnya ilmu filsafat.

Dalam kamus umum Bahasa Indonesia (oleh Purwadarminta), ditemukan arti kebenaran, yaitu : 1.Keadaan yang benar (cocok dengan hal atau keadaan sesungguhnya); 2. Sesuatu yang benar (sungguh-sungguh ada, betul demikian halnya); 3. Kejujuran, ketulusan hati; 4. Selalu izin, perkenanan; 5. Jalan kebetulan.[4]

Sebenarnya, arti secara verbal kebenaran menurut Aristoteles sudah cukup tepat. Aristoteles mendefinisikan kebenaran adalah soal kesesuaian antara apa yang diklaim sebagai diketahui dengan kenyataan yang sebenarnya. Benar dan salah adalah soal sesuai tidaknya apa yang dikatakan dengan kenyataan sebagaimana adanya. Kebenaran terletak pada kesesuaian antara subyek dan obyek yaitu apa yang diketahui subyek dan realitas sebagaimana adanya.

Namun definisi tersebut masih mengandung sesuatu yang tetap bisa mengundang perdebatan demi perdebatan, karena definisi kenyataan masih kabur jika pendifinisan kenyataan tersebut juga belum mutlak. Jadi definisi ini bisa berjalan jika obyeknya telah digariskan definisinya (dalam konteks ini adalah baik-buruk) untuk diterima secara mutlak oleh subyek. Artinya subyek dan obyeknya harus mempunyai sumber yang sama

Kebenaran Itu Asalnya Hanya Satu Sumber

Kebenaran hanya berasal dari Allah, Tuhan seru sekalian alam. Jika kebenaran bukan berasal dari sang Kholik yang merupakan sumber dari kebenaran, maka dapat dipastikan bahwa itu adalah kebenaran yang palsu dan menyesatkan.

Awal Mula Kebenaran diterima manusia

Kebenaran pertama kali dikenal manusia saat ruh manusia akan ditiupkan ke dalam jasad manusia ketika lahir. Pada saat itulah dimintai kesaksian ruh oleh Allah mengenai satu kebenaran yang merupakan inti dari kebenaran itu, yakni persaksian siapa Tuhan. Dan tujuan persaksian itu adalah agar kelak manusia tidak mengelak dari kebenaran dan tidak membuat suatu alasan apapun

وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ (١٧٢)أَوْ تَقُولُوا إِنَّمَا أَشْرَكَ آبَاؤُنَا مِنْ قَبْلُ وَكُنَّا ذُرِّيَّةً مِنْ بَعْدِهِمْ أَفَتُهْلِكُنَا بِمَا فَعَلَ الْمُبْطِلُونَ (١٧٣)وَكَذَلِكَ نُفَصِّلُ الآيَاتِ وَلَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ (١٧٤)

(QS:7: 172-174)

172. Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah aku ini Tuhanmu?” mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuban kami), Kami menjadi saksi”. (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”,

173. Atau agar kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya orang-orang tua Kami telah mempersekutukan Tuhan sejak dahulu, sedang Kami ini adalah anak-anak keturunan yang (datang) sesudah mereka. Maka Apakah Engkau akan membinasakan Kami karena perbuatan orang-orang yang sesat dahulu?”

174. Dan Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu, agar mereka kembali (kepada kebenaran).

Kebenaran itu “sebenarnya” datang sendiri tetapi malah sering seseorang mencari kebenaran yang lain

Saat pertama kali kebenaran diterima, maka sesungguhnya ruh manusia itulah bersifat akan menerima setiap kebenaran yang berasal dari Allah. Ruh akan patuh dan tidak akan membantah setiap kebenaran. Kebenaran yang dipancarkan Allah (sering disebut Hidayah) sebenarnya tiada henti  terpancar. Tapi, kita tidak mampu menerimanya, malah mencari kebenaran lain yang sesuai dengan nafsunya (yang telah menguasai hatinya)

Proses Masuknya Kebenaran Dalam Diri Manusia

Jika prosesnya benar dan tidak ada halangan. Ruh adalah penerima kebenaran yang dipancarkan Allah (hidayah). Hidayah itu bisa berasal dari berbagai sumber, bisa dari sumber kebenaran yang sudah tertulis (Al-Qur’an) atau lewat perantaraan manusia (dakwah) atau melihat sebuah peristiwa yang mengilhaminya. Setelah ruh menerima kebenaran itu, maka ruh akan meneruskannya pada segumpal darah yang akan menggerakkan organ jasad manusia dalam bertindak, yakni hati yang bersih dan peka terhadap kebenaran(sering disebut dengan hati nurani). Sering kali terjadi kesalahan persepsi bahwa sebelum masuk ke hati, maka sinyal yang diterima manusia diasumsikan masuk ke dalam otak/pikiran manusia. Sesungguhnya apa yang dipikirkan otak sebenarnya dimulai dari hati dulu. Dari apa yang dikatakan hati, otak akan berpikir dan menggerakkan jasad manusia dalam bertindak ke arah yang baik atau yang buruk.

Kembali dalam pokok bahasan. Jika sifat dari ruh/jiwa manusia adalah selalu menerima kebenaran, maka lain hal-nya dengan hati. Hati adalah sasaran serangan dari segala hal buruk karena hati adalah penggerak langkah jasad manusia.  Hati adalah sasaran godaan syetan, tempat berkumpulnya nafsu, tempat menempel yang sangat nyaman bagi penyakit-penyakit yang kemudian kesemuanya itu akan menutupinya dan membuatnya buta. Istilah inilah yang dinamakan butanya sebuah hati, yakni tidak mampunyai hati untuk melihat sinyal kebenaran dan akhirnya menggerakkan jasad manusia ke arah yang buruk

Karena rentannya kotoran yang menempel di hati ini. Maka untuk bisa menerima kebenaran, manusia harus melakukan pembersihan hati terus menerus, seiring terus derasnya serangan terhadap hati manusia. Proses inilah (tazkiyatun nafsh) yang harus terus menerus dilakukan agar hati selalu bersih dan hati itu menjadi hati yang peka terhadap kebenaran (hati nurani)

“(Yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.\ (QS.as-Syu’araa:88-89)

“Ketahuilah bahwa di dalam tubuh terdapat segumpal daging, yang apabila  baik, maka baik pula seluruh tubuh. dan apabila ia rusak, maka rusak pula seluruh tubuhnya. Ketahuilah, itu adalah hati.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)[5]

Hal kebenaran sesungguhnya merupakan tema sentral di dalam filsafat ilmu. Secara umum orang merasa bahwa tujuan pengetahuan adalah untuk mencapai kebenaran. Problematik mengenai kebenaran merupakan masalah yang mengacu pada tumbuh dan berkembangnya dalam filsafat ilmu.

Kebenaran dapat dibagi dalam tiga jenis menurut telaah dalam filsafat ilmu, yaitu:

  1. Kebenaran Epistemologikal, adalah kebenaran dalam hubungannya dengan pengetahuan manusia
  2. Kebenaran Ontologikal, adalah kebenaran sebagai sifat dasar yang melekat kepada segala sesuatu yang ada maupun diadakan
  3. Kebenaran Semantikal, adalah kebenaran yang terdapat serta melekat di dalam tutur kata dan bahasa.[6]

BAB III TEORI-TEORI KEBENARAN

  1. Teori kebenaran Korespondensasi

Kebenaran Koresponden: Sesuatu (pernyataan) dianggap benar apabila materi pengetahuan yang terkandung didalamnya berhubungan atau memiliki korespondensi dengan obyek yang dituju oleh pernyataan tersebut. Teori koresponden menggunakan logika induktif, artinya metode yang digunakan dalam berpikir dengan bertolak dari hal-hal khusus ke umum. Dengan kata lain kesimpulan akhir ditarik karena ada fakta-fakta mendukung yang telah diteliti dan dianalisa sebelumnya. Contohnya, Jurusan teknik elektro, teknik mesin, dan teknik sipil Undip ada di Tembalang. Jadi Fakultas Teknik Undip ada di Tembalang.[7]

Ujian kebenaran yang dinamakan teori koresponden, adalah yang paling diterima secara luas oleh kelompok realis. Menurut teori ini, kebenaran adalah kesetiaan secara luas oleh kelompok realis. Menurut teori ini, kebenaran adalah kesetiaan kepada realita objektif atau fidelity to objective reality.

Kebenaran adalah kesesuaian antara pernyataan tentang fakta dan fakta itu sendiri, atau antara pertimbangan (judgement) dan situasi yang pertimbangan itu berusaha untuk melukiskan. Kebenaran mempunyai hubungan erat dengan pernyataan atau pemberitaan yang kita lakukan tentang sesuatu.

jika saya mengatakan bahwa Amerika Serikat dibatasi oleh Kanada di sebelah Utara, maka menurut pendekatan ini, pernyataan saya tadi benar, bukan karena ia sesuai dengan pernyataan lain yang sebelumnya telah diberikan orang atau karena kebetulan pernyataan itu berguna, akan tetapi karena pernyataan itu sesuai dengan situasi geografi yang sebenarnya. Inilah, arti dari kata Kebenaran dalam percakapan sehari-hari. Hal ini juga merupakan pandangan yang khas dari seorang ilmuwan yang mengecek idenya dengan berbagai data atau penemuannya dan merasa senang untuk menyerahkan kesimpulannya untuk diuji secara objektif oleh ilmuwan lain.

Menurut teori koresponden, ada atau tidaknya keyakinan tidak mempunyai hubungan langsung terhadap kebenaran atau kekeliruan, oleh karena kebenaran atau kekeliruan itu tergantung kepada kondisi yang sudah ditetapkan atau diingkari. Jika sesuatu pertimbangan sesuai dengan fakta, maka pertimbangan itu benar. Jika tidak, maka pertimbangan itu salah. Jika saya mengatakan “Ada mobil di parkir di halaman kita”, pernyataan saya tersebut dapat diuji kebenarannya dengan penyelidikan empiris.

Walaupun begitu, penyanggah teori koresponden tidak berpendapat bahwa soal menguji kebenaran pernyataan tidak seterang dan sejelas yang disangka oleh pengikut teori korespondensi. Pertanyaan kritik yang pertama biasanya adalah bagaimana kita dapat membandingkan ide-ide kita dengan realitas? Kita hanya mengetahui pengalaman kita. Bagaimana kita dapat keluar dari pengalaman kita sehingga kita dapat membandingkan ide-ide kita dengan realitas yang ada? Mereka berkata: “Teori korespondensi berasumsi bahwa kita mengetahui bukan saja pertimbangan kita, tetapi keadaan yang nyata di samping pengalaman kita.”

Teori korespondensi nampaknya mempunyai asumsi bahwa data rasa kita adalah jelas dan akurat, bahwa data tersebut menampakkan watak dunia seperti apa adanya. Kelompok idealis dan pragmatis mempersoalkan asumsi tersebut secara serius dan menunjukkan bahwa dalam persepsi, akal cenderung untuk campur tangan dan mengubah pandangan kita tentang dunia. Jika kekuatan persepsi kita berkurang atau bertambah, atau jika kita mempunyai indra lebih  banyak atau sedikit, dunia akan nampak berbeda dari keadaannya sekarang. Oleh karena itu kita tidak dapat mengetahui suatu objek atau suatu kejadian melainkan dengan perantaraan data rasa kita, maka adalah tidak bijaksana untuk mempertanyakan apakah pertimbangan kita sesuai dengan benda seperti yang sesungguhnya ada.

Akhirnya, kita memiliki pengetahuan tentang arti atau definisi, hubungan (relation) dan nilai seperti dalam matematik, logika, dan etika. Sebagian dalam ide yang ingin kita uji kebenarannya tidak mempunyai objek di luar bidang pikiran manusia yang dapat kita pakai untuk mengadakan perbandingan dan pengecekan terhadap korespondensi. Dalam bidang tersebut sedikitnya teori korespondensi tentang kebenaran nampaknya tidak berfungsi, tetapi nyatanya pengetahuan dalam bidang tersebut memiliki derajat ketentuan yang tinggi.

Pendukung teori korespondensi akan menjawab kritik ini dengan menunjukkan bahwa matematika dan logika, tak terdapat tuntutan kebenaran tentang dunia, dan oleh karena itu tak perlu dilakukan ajaran kebenaran kecuali tentang konsistensi.[8]

  1. Teori kebenaran Koherensi

Kebenaran Koheren: Sesuatu (pernyataan) dianggap benar apabila konsisten dan memiliki koherensi dengan pernyataan sebelumnya yang dianggap benar. Teori koheren menggunakan logika deduktif, artinya metode yang digunakan dalam berpikir dengan bertolak dari hal-hal umum ke khusus. Contohnya, seluruh mahasiswa UNDIP harus mengikuti kegiatan Ospek. Luri adalah mahasiswa UNDIP, jadi harus mengikuti kegiatan Ospek.[9]

Teori ini menyatakan bahwa bahwa sesuatu yang dinyatakan akan dianggap benar jika pernyataan itu bersifat koheren bahkan konsisten dengan pernyataan sebelumnya. Hal ini dengan tegas dinyatakan oleh Suriasumantri (2000:59) bahwa teori koherensi adalah terori yang berlandaskan pada logika deduktif yang menyatakan bahwa suatu pernyataan yang dinyatakan benar jika bersifat koheren dan konsisten. Contoh terdapat pernyataan bahwa “setiap manusia akan mati” adalah suatu pernyataan yang benar. Pernyataan yang sering diungkapkan kesimpulan silogisme berikut ini dapat menjadi contoh yang lain, yaitu:

  • Premis Mayor: Setiap manusia akan mati
  • Premis Minor: Marjono seorang manusia.
  • Entimennya: Marjono akan mati karena dia seorang manusia.

Teori kebenaran konsistensi atau The Consistence Theory Of Truth atau yang sering disebut juga dengan The coherence Theory Of Truth menyatakan bahwasanya: According to this theory truth is not constituted by the relation between a judgment and something else, a fact or really, but by relations between judgment themselves. [Menurut teori ini kebenaran tidak dibentuk atas hubungan antara putusan (judgment) dengan sesuatu yang lalu, yakni fakta atau realitas, tetapi atas hubungan antara putusan-putusan itu sendiri].

Dengan demikian, kebenaran ditegakkan atas hubungan antara putusan yang baru dengan putusan-putusan lainnya yang telah kita ketahui dan akui benarnya terlebih dahulu. Jadi suatu proposisi itu cenderung untuk benar jika proposisi itu coherent [saling berhubungan] dengan proposisi yang benar, atau jika arti yang terkandung oleh proposisi tersebut koheren dengan pengalaman kita.

A belief is true not because it agrees with fact but because it agrees, that is to say, harmonizes, with the body knowledge that we presses. [Suatu kepercayaan adalah benar, bukan karena bersesuaian dengan fakta, melainkan bersesuaian/selaras dengan pengetahuan yang kita miliki]. It the maintained that when we accept new belief as truths it is on the basis of the manner in witch they cohere with knowledge we already posses. [Jika kita menerima kepercayan-kepercayaan baru sebagai kebenaran-kebenaran, maka hal itu semata-mata atas dasar kepercayaan itu saling berhubungan [cohere] dengan pengetahuan yang kita miliki].

A judgment is true it if consistent with other judgment that are accepted or know to be true. True judgment is logically coherent with other relevance judgment. [suatu putusan adalah benar apabila putusan itu konsisten dengan putusan-putusan yang terlebih dahulu kita terima, dan kita ketahui kebenarannya. Putusan yang benar adalah suatu putusan yang saling berhubungan secara logis dengan putusan-putusan lainnya yang relevance]

Jadi menurut teori ini, putusan yang satu dengan putusan yang lainnya saling berhubungan dan saling menerangkan satu sama lainnya. Dengan kata lain The truth is systematic coherence atau Kebenaran adalah saling hubungan yang sistematik. Truth is consistency [kebenaran adalah konsistensi, selaras, kecocokan].

Teori dapat disimpulkan bahwah kebenaran adalah kesesuaian antara suatu pernyataan dengan pernyataan lainnya yang lebih dahulu kita akui/ terima/ ketahui kebenarannya. Teori ini dapat juga dinamakan teori justifikasi tentang kebenaran, karena menurut teori ini suatu putusan dianggap benar apabila mendapat justifikasi putusan-putusan lainnya yang terdahulu yang sudah diketahui kebenarannya. Sebagai contoh:
Bungkarno adalah ayahanda Megawati Sukarno Puteri [pernyataan yang kita ketahui, kita terima, dan kita anggap benar]. Jika terdapat penyataan yang koheren dengan pernyataan tersebut tersebut, maka pernyataan ini dapat dinyatakan Benar. Karena koheren dengan pernyataan yang dahulu: Misalnya:

  • Bung Karno memiliki anak bernama Megawati Sukarno Putri
  • Anak-anak Bung Karno ada yang bernama Megawati Sukarno Putri
  • Megawati Sukarno Putri adalah keturunan Bung Karno[10]
  1. Teori Kebenaran Sintaksis

Teori ini berkembang di antara filsuf analisa bahasa, terutama yang begitu ketat terhadap pemakaian gramatika seprti Freiderich Schleiemacher. [11] Para penganut teori ini berpangkal pada keteraturan sintaksis atau gramatika yang dipakai oleh suatu pernyataan atau tata bahasa yang melekat. Demikian suatu pernyataan bernilai benar apabila pernyataan tersebut mengikuti aturan-aturan sintaksis yang baku. Dengan kata lain apabila sebuah proposisi keluar dari yang disyaratkan maka proposisi tersebut tidak mempunyai arti.

Kebenaran dalam perspektif ini memerlukan sensitifitas kita untuk mengetahui bentuk-bentuk gramatikal dari suatu bahasa. Karena gramatikal inilah yang akan digunakan untuk melakukan penilaian kebenaran sebuah pernyataan.[12]

 

  1. Teori kebenaran Simantis

Teori ini dianut oleh paham filsafat analitika bahasa yang dikembangkan paska filsafat Bentrand Rusdell sebagai tokoh pemula dari filsafat analitika bahasa. [13]

. Menurut teori ini, kebenaran semantik suatu proposisi memiliki nilai benar ditinjau dari segi arti atau makna. Arti ini dengan menunjukkan makna yang sesungguhnya dengan menunjuk pada referensi atau kenyataan, juga arti yang dikemukakan itu memiliki arti yang bersifat definitif.

Di dalam teori ini ada sikap yang mengakibatkan diterimanya sebuah proposisi sebagai arti yang esoterik, arbiter, atau hanya mempunyai arti jika dihubungkan dengan nilai praktis. Sikap-sikap itu antara lain sikap epistemologis skeptik, sikap epistemologic dan ideologic, sikap epistemologic pragmatik.

Teori ini dikembangkan oleh Tarski, yang sangat peduli untuk mengatasi paradoks semantik yang membicarakan kebenaran yang muncul dalam hakekat bahasa seperti paradoks pembohong. Ia memegang kebenaran yang hanya bisa didefinisikan secara memadai untuk bahasa yang tidak mengandung kebenaran sendiri-predikat.[14]

  1. Teori kebenaran Non-deskripsi

Teori kebenaran non deskripsi ini dikembangkan oleh penganut filsafat fungsionalisme.[15]

Karena pada dasarnya suatu statemen atau pernyataan itu akan mempunyai nilai benar yang amat tergantung peran dan fungsi pernyataan itu. White (1978) mengambarkan tentang kebenaran sebagaimana dikemukakannya:

“… to say. It is true that not many people are likely to do that” is a way of agreeing with the opinion that not many people are likely to do that and not a way of talking about the opinion, much less of talking about the sentence used to express the opinion”.

Menilik pernyataan di atas, pengetahuan akan memiliki nilai benar sejauh pernyataan itu memiliki fungsi yang amat praktis dalam kehidupan sehari-hari. Pernyataan itu juga merupakan kesepakatan bersama untuk menggunakan secara praktis dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itulah White (1978) lebih lanjut menjelaskan: “The theory non-descriptive gives us an important insight into function of the use of “true” and “false”, but not an analysis of their meaning”.[16]

  1. Teori kebenaran Logik yang berlebihan

Teori Kebenaran Logik yang berlebihan (Logical-Superfluity Theory of Truth).Teori ini dikembangkan oleh kaum Positivistik yang diawali oleh Ayer. Pada dasarnya menurut teori kebenaran ini adalah bahwa problema kebenaran hanya merupakan kekacauan bahasa saja dan hal ini akibatnya merupakan suatu pemborosan, karena pada dasarnya apa –pernyataan– yang hendak dibuktikan kebenarannya memiliki derajat logik yang sama yang masing-masing saling melingkupinya. Dengan demikian, sesungguhnya setiap proposisi yang bersifat logik dengan menunjukkan bahwa proposisi itu mempunyai isi yang sama, memberikan informasi yang sama dan semua orang sepakat, maka apabila kita membuktikannya lagi hal yang demikian itu hanya merupakan bentuk logis yang berlebihan. Hal yang demikian itu sesungguhnya karena suatu pernyataan yang hendak dibuktikan nilai kebenarannya sesungguhnya telah merupakan fakta atau data yang telah memiliki evidensi, artinya bahwa objek pengetahuan itu sendiri telah menunjukkan kejelasan dalam dirinya sendiri (Gallagher, 1984). Misalnya suatu lingkaran adalah bulat, ini telah memberikan kejelasan dalam pernyataan itu sendiri tidak perlu diterangkan lagi, karena pada dasarnya lingkaran adalah suatu yang terdiri dari rangkaian titik yang jaraknya sama dari satu titik tertentu, sehingga berupa garis yang bulat.[17]

BAB IV SIFAT KEBENARAN ILMIAH

 

Kebenaran tidak dapat lepas dari kualitas, hubungan dan nilai itu sendiri, maka setiap subjek yang memiliki pengetahuan akan memiliki persepsi dan pengertian yang berbeda satu dengan yang lainnya, dan disitu terdapat sifat dari kebenaran.Sifat kebenaran dapat dibedakan menjadi tiga hal , yaitu :

  1. Kebenaran dari kualitas pengetahuan, pengetahuan terbukti benar dan menjadi benar oleh kenyataan yang sesuai dengan apa yang diungkapkan pernyataan itu.Kebenaran berkaitan dengan pengetahuan, dimana setiap pengetahuan yang dimiliki ditilik dari jenis pengetahuan yang dibangun, pengetahuan itu berupa :
    1. Kebenaran biasa atau subyektif, Pengetahuan ini memiliki inti kebenaran yang sifatnya subyektif, artinya amat terikat pada subyek yang mengenai.
    2. Pengetahuan ilmiah, yaitu pengetahuan yang telah menetapkan objek yang khas atau bersifat spesifik dengan menerapkan metodologi yang telah mendapatkan kesepakatan para ahli sejenis.Kebenaran dalam pengetahuan ilmiah selalu mengalami pembaharuan sesuai dengan hasil penelitian yang penemuan muthakir.
    3. Pengetahuan filsafat, yaitu jenis pengetahuan yang pendekatannya melalui metodologi pemikiran, bersifat mendasar dan menyeluruh dengan model pemikiran analisis, kritis dan spekulatif.Sifat kebenaran yang terkandung adalah absolute-intersubjektif.
    4. Kebenaran pengetahuan yang terkandung dalam pengetahuan agama.Pengetahuan agama bersifat dogmatis yang selalu dihampiri oleh keyakinan yang telah tertentu sehingga pernyataan dalam kitab suci agama memiliki nilai kebenaran sesuai dengan keyakinan yang digunakan untuk memahaminya.
    5. Kebenaran dikaitkan dengan sifat atau karakteristik dari bagaimana cara atau dengan alat apakah seseorang membangun pengetahuannya.

Implikasi dari penggunaan alat untuk memperoleh pengetahuan akan mengakibatkan karakterstik kebenaran yang dikandung oleh pengetahuan akan memiliki cara tertentu   untuk membuktikannya .Jadi jika membangun pengetahuan melalui indera atau sense experience, maka pembuktiannya harus melalui indera pula.

  1. Kebenaran dikaitkan atas ketergantungan terjadinya pengetahuan

Membangun pengetahuan tergantung dari hubungan antara subjek dan objek, mana yang dominan.Jika subjek yang berperan , maka jenis pengetahuan ini mengandung nilai kebenaran yang bersifat subjektif .Sebaliknya jika objek yang berperan, maka jenis pengetahuannya mengandung nilai kebenaran yang sifatnya objektif.[18]

BAB V DAFTAR PUSTAKA


[5] http://anung.sunan-ampel.ac.id/?p=409 diakses tgl 21-5-2011 jam 12.00 wib

Diterbitkan oleh Sayang dan peduli

Peduli semua

Tinggalkan komentar