SEJARAH GEREJA PROTESTAN DI MALUKU

SEJARAH GEREJA PROTESTAN
DI MALUKU
Oleh: Pdt. Dr. M. Tapilatu
I. KONSOLIDASI GEREJA DI MALUKU TAHUN 1800-1950
MASA KONSOLIDASI
Situasi gereja sesudah pembubaran VOC
Verenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) yang dibentuk pada tahun 1602, selain mempunyai fungsi utama sebagai badan dagang, ternyata juga melaksanakan fungsi politik dan pemeliharaan terhadap agama Kristen.1
Di masa kekuasaan badan dagang ini (abad ke-17 dan ke-18) ternyata telah berkembang suatu corak Kekristenan yang khas di dalam Gereja Protestan di Maluku. Perkembangan demikian nampaknya tidak dapat dilepaskan dari kondisi riil gereja pada masa itu. Kehadiran para pendeta dan ziekentrooster bukan saja dimanfaatkan oleh gereja untuk melayani pegawai VOC tetapi juga untuk memelihara orang-orang Kristen Ambon yang sebelumnya menganut agama Katolik Roma yang kemudian di-Protestankan ketika penguasa VOC mengambil alih kekuasaan di Ambon dari tangan Portugis pada tahun 1605.2 Kekristenan yang dikembangkan oleh gereja ternyata bukan saja terdapat di “pusat” (produksi rempah-rempah) tetapi juga di daerah “pinggiran” (yang kurang strategis dari segi kepentingan dagang). Jemaat Banda, misalnya, dijadikan basis untuk pekabaran Injil ke pulau-pulau bagian Selatan. Sejak tahun 1635 diadakan pekabaran Injil ke pulau Kei, kemudian Aru, Tanimbar dan pulau-pulau Selatan Daya (Babar, Wetar, Leti, dst) dengan memakai tenaga guru. Sampai dengan abad ke-18 Kekristen-an telah diterima oleh orang-orang Maluku yang terhimpun dalam jemaat-jemaat dan tersebar di hampir seluruh daerah kepulauan Maluku. Jumlah mereka telah mencapai puluhan ribu orang. Di Ambon misalnya, tercatat 27.311 anggota yang telah dibaptis dan di Banda 1088 orang.3
Kondisi riil gereja pada masa VOC ditandai a.l. oleh metode penginjilan dan pembinaan terhadap jemaat yang dipergunakan oleh ziekentrooster yakni metode “hafalan” (menghafal pokok-pokok ajaran Kristen penting: Doa Bapa Kami, Pengakuan Iman Rasuli dan Dasa Titah). Juga dalam pembinaan terhadap anggota jemaat diharapkan agar pola yang dipergunakan adalah sama dengan yang dipakai oleh gereja induk di Belanda.4 Kalau penguasaan agama Kristen hanya sampai di tingkat pengetahuan saja yakni menghapal dan memelihara bentuk-bentuk yang sama sekali asing bagi mereka, maka sudah dapat diduga bahwa isi ajaran Kristen yang diterima tidak dihayati sepenuhnya dan dengan demikian tidak berfungsi membarui hidup mereka. Realitas lainnya yang nampak ialah sikap negatif yang diperlihatkan oleh orang-orang Belanda terhadap agama (dan adat/kebudayaan) asli setempat. Agama ini dianggap agama setan. Sejalan dengan itu mereka (termasuk sebagian besar para pendeta) bukannya mempelajari sungguh-sungguh, melainkan sebaliknya berusaha menghancurkan agama dan kebudayaan (adat) asli. Namun suatu kekeliruan yang dilakukan tanpa disadari yaitu mereka merasa puas apabila tempat-tempat dan simbol-simbol agama asli sudah dirusakkan. Akan tetapi karena itu ternyata isi kepercayaan agama asli sama sekali tak tersentuh oleh usaha demikian. Unsur-unsur ini tetap hidup dan berpengaruh dalam kehidupan orang-orang Kristen Maluku.
Realitas dalam kehidupan gereja seperti ini ternyata telah melahirkan suatu corak Kekristenan yang khas yang ditandai oleh unsur-unsur kedangkalan penghayatan iman kristiani, sinkritistis dan magis. Wujudnya terlihat secara jelas misalnya dalam pandangan mereka terhadap benda-benda yang mempunyai kaitan dengan gereja (Alkitab, roti perjamuan dan air bekas baptisan, gedung gereja, dan lain-lain.). Benda-benda ini dianggap bernilai sakral dalam pengertian “keramat” dan memiliki “kekuatan gaib”. Air bekas baptisan misalnya diyakini mempunyai khasiat menyembuhkan dan diberi minum kepada orang sakit. Corak Kekristenan demikian dinamakan “agama Ambon” oleh orang-orang Belanda.5
Pada parohan kedua abad ke-18 VOC mulai memperlihatkan kemunduran drastis dan akhirnya dibubarkan (31 Desember 1799) karena faktor-faktor a.l. tindakan korupsi oleh pegawai VOC sendiri dan persaingan yang ketat dari pihak lawan-lawan dagang-nya terutama Inggris.6
Sejak kemunduran yang dialami oleh VOC, kondisi demikian ternyata telah berpengaruh langsung terhadap perkembang-an gereja di daerah kekuasaannya terutama di Maluku. Hal demikian tidak dapat dihindari karena hampir semua ke-butuhan (a.l. fasilitas dan tenaga pelayan) dibiayai oleh badan dagang ini. Keterbatasan di bidang dana menyebabkan terjadi kemerosotan secara menyolok di berbagai bidang pelayanan, termasuk upaya pengadaan tenaga pelayan.
Dalam situasi kekurangan tenaga-tenaga pelayan khususnya, terutama yang berkebangsaan Belanda, upaya pembinaan dan pelayanan pada jemaat-jemaat kotapun cenderung menurun secara drastis. Juga pelayanan sakramen terutama bagi jemaat-jemaat yang terletak jauh dari pusat tidak dapat dilayankan secara kontinyu dan teratur bahkan kemudian berhenti sama sekali. Selama tahun 1780-an masih terdapat tiga pendeta yang melayani jemaat kota Ambon. Kemudian sejak tahun 1801-1815 tidak ada lagi seorang pendeta di sana. Di Saparua seorang pendeta masih bertahan sampai tahun 1801. Di Banda dan Ternate situasi tidak banyak berbeda.7 Fasilitas sebagai penopang pelayanan menjadi tak terpelihara dan semakin menciut. Kondisi gereja yang demikian, menyebabkan kinerja pelayanan yang diperlihatkan adalah sangat menurun.
Suatu hal yang agak menggembirakan ialah di dalam jemaat-jemaat, terutama di sekitar kota Ambon (pulau Ambon, Lease, Seram Selatan dan Banda) pada beberapa jemaat yang jauh (a.l. pulau-pulau Selatan Daya, Babar, Wetar, Leti, dst.) masih terdapat tenaga-tenaga pelayan Maluku. Benar, dari segi latar belakang pendidikan mungkin tidak setinggi bila dibandingkan dengan rekan-rekan pelayan asal Belanda (Khusus pendeta-pendeta tamatan Fakultas Teologi) sehingga dari mereka tidak dapat diharapkan suatu kualitas pelayanan yang setara. Walaupun demikian dalam kenyataan, sumbangan yang diberikan oleh kelompok ini cukup penting. Mereka inilah yang tetap berperan melayani dengan penuh dedikasi sehingga melalui kehadiran dan pelayanan mereka, terutama di pulau-pulau yang jauh dari pusat, jemaat-jemaat di sana tetap eksis. Warganya tidak kembali kepada kepercayaan lama (agama suku).
Kesetiaan para pelayan Maluku terhadap tugas yang diemban dengan latar belakang pendidikan yang rendah, kelangkaan tenaga-tenaga pelayan Belanda yang berkualitas dan semakin minim dan menciutnya fasilitas pelayanan menyebabkan kehadiran gereja tetap berlangsung tetapi dalam kualitas kehidupan kerohanian anggota jemaat dan pengorganisasian gereja yang sangat rendah dan lemah.
Pengambilalihan Indonesia dari tangan Inggris oleh pemerintah Belanda (1816), ternyata telah melahirkan kesadaran yang kuat terhadap tanggungjawab moral terhadap jemaat-jemaat warisan VOC yang sudah terpuruk pada waktu itu. Atas inisiatif raja Willem I, kepala pemerintahan Kerajaan Belanda, dibentuk de Protestantsche Kerk in Nederlandsch-Indië untuk mengorganisasikan jemaat-jemaat yang ada melalui beberapa surat keputusan yang diterbitkan untuk maksud itu masing-masing bertahun 1815, 1835 dan 1840.8 Pembentukan gereja ini dengan maksud selain ingin mempersatukan gereja-gereja dari berbagai denominasi di Indonesia (Calvinis, Lutheran, Baptis, Remonstran dan Menonit).9 Juga sebagai wujud dari komitmen raja yang kuat untuk membina jemaat-jemaat yang terpuruk itu secara intensif dan terkoordinasi.
Perhatian yang diberikan kepada jemaat-jemaat di Maluku yang berada dalam kondisi demikian merosot itu dinampakkan bukan saja oleh pemerintah Belanda, Raja Willem I, tetapi juga oleh badan zending Nederlands Zendelinggenootschap (NZG). Sebagaimana diketahui, pada akhir abad ke-18 terjadi perkem-bangan baru di dalam gereja-gereja barat yakni timbul minat yang sangat kuat untuk menyebarkan iman kristiani (pekabaran Injil) ke seluruh dunia. Perkembangan yang sama terjadi pula di kalangan warga gereja di Belanda. Untuk itu sama seperti halnya di Inggris dibentuk badan zending (misalnya London Missionary Society: LMS), di Belanda pun dilakukan hal yang sama antara lain NZG.
Pembinaan terhadap Gereja Protestan di Maluku yang dilakukan oleh GPI dalam kerja sama dengan NZG (1815-1864) yang kemudian dilakukan oleh GPI sendiri (1864-1942) – sehubungan dengan penarikan diri yang dilakukan oleh NZG di Maluku – ternyata didekati dari tiga segi yang paling mencolok, yakni pembenahan organisasi gereja, pengadaan tenaga-tenaga pelayan (terutama pelayan-pelayan setempat) dan metode atau pola pembina-an terhadap warga gereja. Pendekatan demikian telah melahirkan sosok Gereja Protestan di Maluku yang secara fisik dan rohani mempunyai kekhasan tersendiri. Pendekatan demikian telah dilakukan oleh tenaga-tenaga Belanda yang untuk pertama kali bekerja di Maluku pada dekade-dekade awal abad ke-19. Salah seorang di antaranya yang secara mencolok melaksanakan pendekatan demikian ialah Joseph Kam (di Ambon, 1815-1833). Dia ada-lah zendeling utusan NZG tetapi bekerja untuk GPI. Latar belakang tokoh ini yang Pietis dan gereja rakyat (Gereformeerd) ternyata sangat mempengaruhi pola pelayanan dan pembinaan terhadap jemaat dan gereja di Maluku.
Pembenahan awal oleh GPI dan NZG
Sebagai seorang yang mempunyai latar belakang gereja Gereformeerd (gereja rakyat), Joseph Kam melihat bahwa hanya melalui pembenahan di bidang organisasi gereja yang baik, akan mudah tercipta suatu gereja yang berdisiplin, tertata dengan baik dan mempunyai struktur.10 Pembenahan terhadap organisasi gereja dilakukan mulai dari jemaat di kota Ambon dan selanjutnya ke jemaat-jemaat di pulau-pulau terpencil. Dan upaya pembenahan yang dilakukan bukan saja menyangkut organisasi gereja, tetapi juga organisasi di bidang pendidikan (sekolah). Di bidang organi-sasi gereja, selain mengaktifkan kembali badan-badan majelis jemaat di jemaat-jemaat tertentu (Ambon, Haruku dan Saparua), juga dianjurkan agar guru-guru jemaat setempat yang dikunjungi mencatat secara teratur nama anak-anak yang dibaptis dan pasangan-pasangan yang akan menikah.11 Di bidang pendidikan, diadakan penataan administrasi pendidikan (sekolah). Dalam rangka pembinaan di bidang organisasi ini dilakukan perkunjung-an secara berkala dan teratur setiap tahun ke jemaat-jemaat, baik yang berada dekat maupun yang jauh dari kota Ambon. Pola kunjungan itu telah berlaku sejak abad ke-17. Kam “hanya” meneruskan tradisi para pendeta VOC.
Pada setiap jemaat yang dikunjungi selain diadakan rapat-rapat dengan anggota badan majelis jemaat setempat juga dilayankan Perjamuan Kudus, pembaptisan anak-anak dan orang dewasa yang baru masuk Kristen, pemberkatan nikah dan menegakkan disiplin gereja serta memeriksa perkembangan penyelenggaraan sekolah di jemaat-jemaat setempat.12
Untuk memulihkan kondisi gereja di Maluku yang sudah merosot, hal penting lainnya pula yang dilakukan ialah pengadaan tenaga-tenaga pelayan gereja. Seperti yang telah dikemukakan di atas menjelang pembubaran VOC, pengadaan tenaga-tenaga pelayan, baik tenaga-tenaga Belanda maupun tenaga-tenaga Maluku, sangat berkurang karena keterbatasan dana. Kalaupun terdapat tenaga yang masih melayani, terutama tenaga-tenaga pelayan setempat, jumlah mereka makin berkurang dan sebagian mulai memasuki usia lanjut. Faktor lain pula yang menyebabkan kekurangan para pelayan gereja pada dekade-dekade awal abad ke-19 ialah kurangnya perhatian yang serius dari gereja sejak zaman VOC di bidang ini. Data historis memperlihatkan bahwa dalam Tata Gereja peninggalan gereja di masa VOC tidak dikenal pelayanan tersendiri terhadap jemaat-jemaat berbahasa Melayu lepas dari jemaat berbahasa Belanda. Hal ini menyebabkan pengadaan tenaga-tenaga pelayan setempat tidak optimal, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Badan-badan zending yang bekerja di Indonesia sadar benar bahwa kebijakan demikian tidak meng-untungkan gereja sendiri. Untuk itu salah satu kebijakan yang digariskan oleh badan-badan zending termasuk NZG ialah pengadaan tenaga-tenaga pelayan sedapat dan sebaik mungkin bagi jemaat-jemaat berbahasa Melayu yang diambil dari pemuda gereja-gereja setempat. Kebijakan ini ditindaklanjuti dengan membuka sekolah penginjil yang bersifat semiformal dan Sekolah Pendidikan Guru Kristen (SPGK) asuhan Roskott (tahun 1835-1864). Lulusan kedua sekolah ini masing-masing bergelar bekwame medehelper (=pembantu yang terampil atau “penginjil”) dan guru yang bertugas baik di sekolah maupun di jemaat.13 Mereka ternyata sangat bermanfaat bagi tugas-tugas pelayanan terutama bagi jemaat-jemaat yang terletak jauh dari pusat.
Sebagaimana telah dikemukakan, walaupun dalam keadaan krisis namun jemaat-jemaat di Maluku tetap hidup. Benar, mereka tidak kembali kepada agama lama (suku) atau masuk Islam, tetapi hidup kerohanian mereka sangat merosot. Pada perkunjungan Joseph Kam di salah satu jemaat, ia disambut oleh seluruh anggota jemaat, termasuk anggota badan pemerintah negeri. Dalam prosesi yang diadakan untuk menyambutnya, anggota jemaat melagukan nyanyian Mazmur dengan penghayatan yang dalam. Hal yang menarik ialah selain ragam nyanyian, juga kata-kata nyanyian yang diucapkan sudah tidak tepat lagi sebagaimana aslinya dan ada buku nyanyian yang dipegang saat itu ternyata terbalik.14 Di sini nampak bahwa tekad dan semangat untuk menjadi Kristen di antara anggota jemaat tetap terpelihara. Walaupun demikian, karena ketiadaan pelayanan, kualitas Kekristenan yang dimiliki mulai menjadi merosot. Kenyataan ini disadari benar oleh Kam.
Sebagai seorang yang memiliki latar belakang Pietisme ia melihat situasi kerohanian yang demikian harus segera dibarui. Dan dia tahu persis pola pembinaan yang harus diterapkan untuk itu. Pola dimaksud adalah pola pembinaan Pietisme. Hal demikian nampak sesudah ia tiba di kota Ambon (th. 1815). Pelayanan kepada anggota jemaat diintensifkan dalam bentuk perkunjungan rumah tangga dan peningkatan frekuensi peribadahan jemaat. Khusus di bidang peribadahan, selain ibadah Minggu dan pelayanan sakramen, juga diadakan ibadah-ibadah “kebangunan rohani” melalui pengadaan prayer meeting (persekutuan doa) dan pertemuan doa untuk mendorong kegiatan pekabaran Injil. Bagi Kam, kegiatan-kegiatan pelayanan demikian merupakan salah satu alat yang penting dalam membangun kembali kehidupan kerohanian anggota jemaat.15 Selain itu, dalam rangka pelayanan langsung kepada anggota-anggota jemaat yang jauh dari pusat, ia mengadakan perkunjungan-perkunjungan, bahkan sampai ke jemaat-jemaat yang terjauh (Maluku Tenggara: pulau-pulau Selatan Daya yakni Wetar, Kisar, Moa, Leti, dan lain-lain.) Kegiatan utama yang dilakukan pada setiap perkunjungan di jemaat ialah memberitakan Firman dan melayankan sakramen, menegakkan disiplin gereja dan meninjau pekerjaan guru-guru sekolah di jemaat itu.16 Khusus bagi jemaat-jemaat yang tak terjangkau melalui suatu perkunjungan – atas inisiatif sendiri – dicetak brosur-brosur yang isinya bernada penggembalaan dan kemudian dikirim kepada mereka.
Semua aktivitas pelayanan dan pembinaan yang dilakukan oleh Joseph Kam dan rekan-rekannya – sudah pasti bersama para zendeling dan pendeta GPI lainnya – sedikit banyaknya telah meningkatkan kualitas hidup kerohanian anggota jemaat a la Pietis, yang sebelumnya sangat merosot. Sebagai hasil konkret dari kegiatan pelayanan yang dilakukan oleh Joseph Kam melalui pembenahan di bidang organisasi gereja dan pengadaan tenaga-tenaga pelayan setempat serta peningkatan kehidupan kerohanian anggota jemaat ternyata telah tertanam suatu jenis Kekristenan yang baru di tengah Kekristenan Ambon yang masih menganut kesatuan kehidupan yang bersifat statis dan belum bersikap Missioner yakni Kekristenan gaya Pietisme (Revival). Unsur-unsur baru ini kemudian mempunyai sumbangan yang positif sebagai persiapan bagi perubahan-perubahan besar yang akan datang pada tahun 1935 dan 1950 yaitu kemandirian gereja (pembentukan GPM) dan pemutusan hubungannya dengan negara terutama di bidang keuangan.
Upaya-upaya pembinaan yang dilakukan oleh gereja yang telah diprakarsai oleh Joseph Kam dan rekan-rekan dalam rangka membarui gereja di Maluku yang sangat merosot pada dekade-dekade pertama abad ke-19 itu kemudian dilanjutkan dan lebih ditingkatkan.
Pembinaan selanjutnya oleh GPI (1864-1950)
Di bidang organisasi
Pembenahan terhadap organisasi gereja semakin dimantap-kan lagi oleh GPI sejak dikeluarkannya Koninklijk Besluit (Penetapan Raja) tahun 1840 yang berisi cara pengorganisasian GPI. Terutama sesudah tahun 1867 pembenahan di bidang organisasi ini khusus untuk Gereja Protestan di Maluku (GPI Resort Ambon) lebih disempurnakan lagi. Hal ini nampak jelas dengan dikeluarkannya beberapa peraturan gereja sebelum dan setelah pembentukan Gereja Protestan Maluku (GPM) pada tahun 1935. Dapat diketengahkan di sini a.l.: “Reglement voor de Gekozen Kerkeraden van de Inlandsche Gemeenten der Protestansche Kerk in Ned.-Indië in het Gouvernement der Molukken – Peratoeran oentoek Kerkeraad-Kerkeraad jang dipilih dari Djoema’at-Djoema’at Boemi Poetra dari Geredja Protestant Hindia Belanda dalam Goebernemen Maloeka, 1928″, “Peratoeran Geredja dan Peratoeran Synode dari Geredja Protestant Maloeka, 1937” dan Peratoeran Clasis dan Peratoeran-Peratoeran ketertiban dari Geredja Protestant Maloeka, 1938, dan lain-lain.
Di bidang tenaga pelayan
Pembenahan yang sama dilakukan pula di bidang pengadaan tenaga-tenaga pelayan setempat. Upaya yang dilakukan oleh GPI bersama-sama NZG dan kemudian oleh GPI sendiri mempunyai dua tujuan. Pertama, untuk mengisi kekurangan tenaga pelayan yang disebabkan a.l. oleh penerapan sikap “netral” negara terhadap gereja. Wujud penerapan sikap netral negara itu ialah semua tenaga pelayan lulusan SPG-K dan guru jemaat yang sebelumnya melayani baik di sekolah maupun di jemaat kini mulai dibatasi pada bidang persekolahan semata. Selain itu, karena keadaan geografis daerah pelayanan di mana jemaat-jemaat tersebar di banyak pulau membutuhkan tenaga-tenaga yang cukup banyak pula. Juga perkembangan gereja yang cukup pesat baik secara kuantitatif maupun kualitatif terutama sejak tahun 1900, menyebabkan berdirinya jemaat-jemaat baru yang sebelumnya merupakan daerah pekabaran Injil yang semuanya membutuhkan tenaga-tenaga yang cukup banyak. Sebagai gambaran, kalau pada tahun 1821 terdapat ± 35.000 orang Kristen, maka pada tahun 1930 jumlah ini meningkat menjadi ± 190.000 dan pada umumnya adalah jemaat-jemaat yang tersebar di sebagian besar pulau-pulau di Maluku. Akibatnya ialah pengadaan tenaga pelayan menjadi kebutuhan mendesak yang harus dipenuhi segera. Kedua, untuk menjangkau semua strata sosial yang terdapat di dalam gereja yakni warga gereja di dalam jemaat kota yang rata-rata mempunyai latar belakang pendidikan dan sosial menengah ke atas dan warga gereja di jemaat-jemaat pedesaan yang berlatar belakang pendidikan dan sosial pada umumnya adalah rendah.
Upaya-upaya pengadaan tenaga-tenaga pelayan ternyata sangat penting bagi kelancaran pelaksanaan tugas-tugas pelayanan dan dalam merespons pertambahan anggota yang cukup pesat dialami oleh Gereja Protestan di Maluku pada tiga dekade pertama abad ke-20. Kalau pada parohan pertama abad ke-19 jemaat-jemaat di beberapa kota (Ambon, Saparua, Banda dan Ternate) dan beberapa negeri yang jumlah anggota jemaatnya cukup besar (seperti Haruku, Piru, dan lain-lain.) dilayani oleh pendeta-pendeta berkebangsaan Belanda maka pada masa sesudahnya pelayanan mulai beralih ke tangan pelayan-pelayan setempat (Maluku).
Suatu hal yang perlu diketengahkan menyangkut kebijakan GPI khusus tentang tenaga-tenaga Maluku adalah belum diberikannya kepercayaan penuh kepada mereka dalam rangka pelaksanaan tugas-tugas pelayanan di dalam jemaat. Sampai dengan saat kemandirian GPM (6 September 1935), proses pelimpahan kewenangan di bidang pelayanan kepada tenaga-tenaga Maluku ternyata berjalan lambat. Di satu pihak, peranan mereka dalam pelayanan di jemaat-jemaat terutama di luar kota Ambon sudah sangat dominan. Tetapi di pihak yang lain kepada mereka belum diberikan kewenangan melayankan sakramen (Baptisan dan Perjamuan Kudus). Kalau kepada para utusan Injil dan Guru Jemaat tidak diperkenankan untuk melakukan hal itu, dapat diterima karena sejak awal telah ditetapkan oleh Pengurus GPI. Tetapi ternyata kebijaksanaan yang sama dikenakan pula kepada tamatan STOVIL, hal yang sejak awal tidak ditetapkan. Para lulusan lembaga ini dibagi atas dua kategori, yakni “yang memiliki hak untuk melayankan sakramen” dan “yang tidak memiliki hak yang demikian”. Padahal dari segi pendidikan dan kurikulum serta kompetensi lulusan, pada dasarnya mereka mempunyai hak untuk melaksanakannya. Malahan bagi para lulusan yang mempunyai hak untuk melayankan sakramen hal itu baru dapat dilakukan pada tahun 1916.17 Namun masih disertai syarat: “sesudah bekerja selama sepuluh tahun”. Persyaratan ini kemudian ditiadakan pada tahun 1930-an yang berarti tamatan STOVIL dapat langsung melayankan sakramen.
Di bidang kepemimpinan gerejapun proses pelimpahan wewenang kepada tenaga-tenaga pelayan setempat berjalan lambat. Baru menjelang berdirinya GPM, hal itu mulai diperhatikan dalam rangka persiapan yang dilakukan oleh Pdt. Oostrom Soede. Selain pembaruan yang dilakukan di bidang Liturgi dan Tata Gereja, tenaga pelayan setempat mulai diberikan posisi yang cukup penting di dalam gereja, misalnya Pdt. J. Loppies sebagai pimpinan Sekolah Guru Jemaat di Ambon (tahun 1927) dan Pdt. W. Tutuarima sebagai Direktur STOVIL (tahun 1932).
Di bidang pembinaan warga gereja
Usaha-usaha pelayanan yang dilakukan di masa Joseph Kam terutama dalam rangka pembangunan kembali hidup kerohanian warga gereja tetap menjadi perhatian gereja pada masa-masa sesudahnya. Hal demikian terlihat jelas dalam bentuk penambahan tenaga-tenaga pelayanan baik secara kuantitatif maupun kualitatif serta jenis jabatan. Pengadaan tenaga-tenaga pelayanan demikian bertujuan untuk menjangkau seluruh anggota jemaat dengan berbagai latar belakang pendidikan dan strata sosial. Namun berbeda dengan pola pembinaan ala Pietisme yang diterapkan oleh Kam, pola pembinaan yang diterapkan oleh GPI lebih disesuaikan dengan kebijaksanaan yang digariskan oleh pemerintah yang merupakan tugas yang harus dilakukan oleh GPI. Tugas dimaksud ialah […] “menambahkan pengetahuan religius dan memajukan kesusilaan Kristen” dan “menegakkan ketertiban serta kerukunan dan memupuk cinta kasih terhadap pemerintah serta tanah air”. Itu berarti dengan pola pembinaan yang diterapkan lebih bertujuan menciptakan warga gereja yang bersusila dan sekaligus menjadi warga negara yang baik. Jadi bertujuan pertama-tama untuk menjadikan warga gereja orang yang benar-benar menghayati imannya dan berdasarkan imannya itu ia secara kritis menilai semua persoalan yang terjadi di sekitarnya. Suatu hal lain yang nampak dari pola pembinaan yang berlandaskan kebijakan demikian ialah semua tindakan yang secara langsung atau tidak langsung menentang adat sama sekali tidak diperkenankan.
Perlu diketengahkan, benar, sebagaimana dikatakan di atas, pelayanan oleh Kam dan rekan-rekannya secara keseluruhan telah menghidupkan kembali Kekristenan di Maluku yang terpuruk sebelumnya. Walaupun demikian secara faktual, pelayanan demikian belum mampu menciptakan suatu nilai Kekristenan yang sama sekali baru di kalangan anggota jemaat. Ternyata nilai-nilai “agama Ambon” yang telah tumbuh dan berakar dalam kehidupan anggota jemaat pada abad sebelumnya (abad ke-18), belum dapat dibarui secara tuntas melalui pola pelayanan yang diterapkan oleh Kam beserta rekan-rekannya. Kenyataaan demikian adalah wajar. Alasannya ialah, pertama, Kekristenan Ambon yang sangat diwarnai oleh “agama Ambon” itu telah semakin berakar kuat di tengah-tengah anggota jemaat terutama pada saat kekurangan, bahkan ketiadaan tenaga-tenaga pelayan di beberapa tempat pada parohan kedua abad ke-18 dan dua dekade awal abad ke-19. Kedua, perlindungan terhadap adat oleh pemerintah – sebagaimana dikemukakan di atas – menyebabkan bentuk Kekristenan ala “agama Ambon” ini dapat tetap lestari di kalangan anggota jemaat. Bentuk Kekristenan seperti ini pernah digugat oleh guru-guru tamatan SPG Kristen Roskott, tetapi mereka selalu divonis salah oleh pemerintah. Ketiga, memang benar bahwa Kam dan rekan-rekan telah berusaha sekuat tenaga untuk membangun kembali Kekristenan di Maluku. Tetapi usaha demikian terasa lebih dominan hanya di lingkungan jemaat-jemaat yang sering dikunjungi dan dilayani, misalnya kota Ambon dan beberapa jemaat besar, seperti Saparua, Piru, Kairatu dan Banda. Jemaat-jemaat ini kemudian menonjol dalam usaha-usaha pekabaran Injil melalui badan-badan pekabaran Injil yang dibentuk, misalnya di Ambon, “Eltheto” dan “Biji sesawi”, di Saparua: “Ora et Labora” dan lain-lain.18 Sedangkan di sebagian besar jemaat-jemaat nilai-nilai Kekristenan lama yang sudah berakar di kalangan anggota jemaat sekitar satu abad itu tidak dapat diubah dalam pelayanan beberapa tahun saja. Apalagi jemaat-jemaat yang ada tidak dapat dikunjungi selalu karena kondisi geografis Maluku yang sangat sulit.
Kenyataan-kenyataan di atas nampaknya telah memperkuat corak Kekristenan yang tradisionalistis yang telah hidup dan dipraktikkan di kalangan warga gereja di Maluku (“agama Ambon”). Tentang agama ini, F.L. Cooley menulis:
“Sebetulnya adat dan Injil telah saling mempengaruhi. Dapat dikatakan bahwa agama Kristen di Ambon telah diper-adatkan. Sebutan “agama Ambon” itu memang tepat dalam hal bahwa sifat-sifat dari adat telah melekat pada agama Kristen di Ambon. Dan sebaliknya adat juga telah dibaptis atau dikristenkan, dalam arti bahwa paling tidak secara lahiriah, adat telah disesuaikan dengan ajaran dan praktik agama Kristen. terutama dalam hal-hal yang berhubungan dengan peristiwa-peristiwa penting dalam hidup seseorang seperti kelahiran, inisiasi, kedewasaan, perkawinan dan kematian”19
Melihat eratnya hubungan antara “agama Ambon” ini dengan adat dan tradisi maka ada tokoh yang mengartikan bahwa “agama Ambon” itu tidak mempunyai hubungan yang erat dan mendasar dengan Injil. “Agama Ambon” merupakan contoh yang tepat sekali dari apa yang disebut kultur Kekristenan, yaitu Kekristenan yang telah tunduk kepada kebudayaannya sehingga tidak memperlihatkan lagi sifat-sifat dasar dari Injil.20 Penilaian demikian mungkin ada benarnya. Namun apapun kritik yang dilontarkan terhadap corak Kekristenan ini, yang jelas dengan corak demikian Kekristenan telah berakar di kalangan warga gereja dan memperlihatkan ciri-ciri positif lainnya, antara lain terdapat minat yang cukup besar untuk melayani dan melibatkan diri dalam organisasi gereja, kerelaan untuk pergi ke tempat terpencil (di Irian jaya dan NTT) dan kerelaan untuk mati karena iman (misalnya di masa penduduk-an Jepang).
Tidak dapat disangkal bahwa telah terdapat usaha-usaha pembaruan yang diadakan di dalam gereja terhadap corak Kekristenan itu. Unsur-unsur adat negatif yang terdapat di dalamnya, misalnya unsur yang diduga pemujaan kepada arwah tete-nene moyang, peringatan “tiga malam” dari seseorang yang meninggal, telah dipersoalkan oleh pendeta-pendeta dan guru-guru jemaat tertentu, tetapi tidak secara rata-rata dan tidak dengan menjalankan suatu kebijaksanaan umum oleh karena gereja belum menetapkan suatu sikap yang jelas terhadap adat.21 Akibatnya ialah corak Kekristenan ini tetap berlangsung tanpa mendapat gugatan yang berarti sampai dengan tahun 1970-an.
Kehadiran gereja-gereja baru
Memasuki parohan pertama abad ke-20, ternyata di Maluku bukan saja terdapat GPI resort Ambon yang kemudian berdiri menjadi Gereja Protestan Maluku (GPM: tahun 1935) tetapi juga gereja-gereja lain, seperti Gereja Katolik Roma, Gereja Advent Hari Ketujuh, Gereja Sidang Jemaat Allah (GSJA), Bala Keselamatan dan Gereja Masehi Injili Halmahera (GMIH).
Kehadiran gereja-gereja di Maluku dan khususnya di kota Ambon (akhir abad ke-19 dan sampai dengan parohan kedua abad ke-20 pada mulanya agak sulit diterima oleh GPI resort Ambon. Pada awal perjumpaan gereja ini dengan Gereja Katolik (akhir abad ke-19) hubungan yang tercipta di antara kedua belah pihak kurang harmonis. Faktor-faktor penyebabnya antara lain ialah pengaruh warisan sejarah pada masa reformasi yakni pertikaian antara golongan Protestan dan Katolik di Eropa (abad ke-16 dan ke-17) masih terasa. Selain itu, kedua gereja sering mengadakan pekabaran Injil di daerah yang sama (dubbele zending), terutama di Kepulauan Kei dan Tanimbar.22
Hubungan antara GPM dan Gereja Katolik ternyata kemudian berkembang menjadi semakin baik. Salah satu faktor penyebab ialah sikap positif yang diperlihatkan oleh pemerintah Hindia Belanda terhadap gereja yang disebut terakhir. Bagi pemerintah ini kehadiran badan missi di Maluku selain bermanfaat memperbanyak penganut-penganut Kristen juga dapat bermanfaat memajukan bidang pendidikan dan kesehatan penduduk setempat.23 Sikap positif pemerintah inilah sekurang-kurangnya telah ikut mewarnai sikap GPM, terutama sesudah tahun 1935. Di samping itu, dari pihak GPM sendiri telah timbul kesadaran yang dilandaskan pada realitas di lapangan bahwa pertikaian yang terjadi pasti akan sangat merugikan kesaksian bersama terhadap pihak non-Kristen, misalnya di Kepulauan Kei yang sebagian penduduknya beragama suku (asli) dan Islam. Sejalan dengan itu, setiap persoalan yang kadang-kadang timbul di antara kedua belah pihak selalu dibicarakan bersama dan di dalam pembicaraan itu diundang pula pihak pemerintah.24
Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa hubungan di antara gereja-gereja terutama antara GPM dan gereja-gereja lain (Advent Hari Ketujuh, Bala Keselamatan, GSDA, dan lain-lain) khususnya selama tahun 1935-1942 (menjelang kehadiran penguasa Jepang di Maluku) adalah kurang harmonis. Situasi demikian disebabkan oleh adanya pandangan pimpinan dan warga GPM yang melihat gereja-gereja lain (kecuali Gereja Katolik) sebagai sekte atau bidat dan selalu dicurigai karena gereja-gereja ini cenderung mencari anggota baru dari warga GPM.
Gereja-gereja non-GPM di atas – kecuali Gereja Katolik di Kei dan GMIH di Halmahera – dari segi perkembangan jumlah anggota tidak mencolok. Salah satu faktor penyebab utama ialah karena sifat tradisionalistis yang dimiliki oleh warga GPM yang merupakan sasaran “penginjilan” gereja-gereja itu. Mereka cenderung bersikap setia terhadap apa yang diwariskan oleh generasi sebelumnya. Sifat tradisionalistis yang nampak dalam sikap setia terhadap gereja bukan saja gereja dalam arti institusi organisatoris tetapi juga dalam arti ajaran dan nilai-nilai yang telah diwariskan dari generasi ke generasi yakni ajaran dan bentuk ibadah (liturgi warisan GPI), nyanyian-nyanyian gereja dan kebiasaan-kebiasaan lainnya. Sikap demikian menyebabkan gereja lain, selain GPM (Calvinis) dilihat sebagai sekte atau bidat dan selalu dihindari. Faktor sikap ini membuat perkembangan Gereja Katolik dan gereja yang berlatar belakang Kebangunan Rohani di Amerika Utara sampai pada parohan pertama abad ke-20 tidak terlampau mencolok. Jumlah pengikut mereka, kecuali Gereja Katolik di Kei dan Tanimbar relatif kecil dan hanya terdapat di kota-kota, terutama di Ambon, Saparua dan Ternate.
Hubungan yang renggang antar gereja ini memasuki suatu situasi yang sama sekali belum pernah terjadi sebelumnya yakni bergabungnya mereka di dalam wadah Ambon-syu Keristokyo Rengokai (AKR: Penggabungan Gereja-gereja Masehi di kota Ambon) yang dipelopori oleh Pdt. Dr. Hachiro Shirato, seorang pendeta Jepang. Walaupun wadah ini merupakan bentukan penguasa Jepang, namun telah berhasil untuk pertama kali meng-himpunkan semua gereja di kota Ambon. Di dalamnya mereka membicarakan kepentingan dan pelayanan bersama baik ke dalam (di antara mereka) maupun ke luar (mereka dengan penguasa Jepang).25 Hubungan yang tercipta melalui AKR sedikit banyaknya telah meletakkan dasar bagi hubungan kerja sama yang terbuka dan dinamis pada tahun-tahun berikutnya terutama sesudah tahun 1950.
II. PERKEMBANGAN PADA PERIODE 1950-2000
Situasi Umum
Sejak tahun 1950 sampai dengan 1965, gereja-gereja di Maluku memasuki suatu era baru. Di satu pihak era itu bermakna positif. Tetapi pada pihak yang lain, merupakan suatu era yang penuh tantangan dari segi ekonomi-keuangan dan sosial politik.
Periode ini dikatakan bermakna positif sebagai bagian tak terpisahkan dari bangsa dan negara Indonesia, gereja di Maluku telah memasuki era kemerdekaan lepas dari penjajahan pemerintah kolonial Belanda sejak proklamasi kemerdekaan banga Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Sehubungan dengan era kemerdekaan yang tercipta, berkembang pula nilai-nilai demokrasi dan kebebasan untuk menata diri secara penuh, dan dimulailah proses pendewasaan diri dalam berbagai bidang sebagai wujud dari gereja yang benar-benar mandiri. Periode inipun bagi gereja-gereja di Indonesia, terutama gereja-gereja Protestan tertentu, merupakan periode gerakan oikumene, yang terwujud dalam pembentukan wadah oikumenis Dewan Gereja-gereja di Indonesia (DGI) pada tahun 1950.26 Wadah ini merupakan tempat bertemu dan bermusyawarah dari gereja-gereja dan di dalamnya juga mereka membicarakan usaha-usaha keesaan dan pokok-pokok tugas panggilan bersama terhadap bangsa dan masyarakat Indonesia.
Di samping perkembangan positif yang dialami di atas, periode 1950-1965 juga merupakan suatu periode transisi penuh kesulitan dan tantangan baik karena faktor eksternal maupun internal. Faktor eksternal yang mencolok adalah pergolakan politik di tingkat nasional: timbulnya DI/TII sejak awal tahun 1950-an yang ingin membentuk negara Islam, gerakan Republik Maluku Selatan (RMS: tahun 1950) yang ingin memisahkan diri dari NKRI, gerakan PRRI/PERMESTA yang separatis (thn. 1957/1958) dan pemberontakan Gerakan Tiga Puluh September oleh Partai Komunis Indonesia (G-30 S/PKI: thn. 1965). Sedangkan faktor internal yang mencolok ialah pergumulan gereja-gereja dalam menata diri antara lain di bidang organisasi sesuai perkembangan-perkembangan baru yang terjadi sebagai pengganti organisasi era kolonialisme yang beciri dominokrasi, sentralistis dan “top-down policy” kebijaksanaan dari atas ke bawah). Faktor internal lainnya yang cukup mencolok adalah keuangan. GPM yang sebelumnya seluruh keuangannya didukung oleh pemerintah Belanda kini harus menang-gulanginya sendiri.
Perkembangan lain yang terjadi khusus di lingkungan GPM yang rasanya perlu dicatat ialah perpindahan sejumlah orang Maluku (Ambon) yang adalah warga GPM ke negeri Belanda pada awal tahun 1951. Hal ini terjadi karena orang-orang Maluku anggota KNIL27 menolak untuk dimobilisasi di kota Ambon – yang semula merupakan keinginan mereka – karena kota itu telah diduduki oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI), tahun 1950. Setelah melalui suatu proses negosiasi yang panjang dan kompleks pihak otorita Belanda tidak mempunyai alternatif lain kecuali meng-angkut sekitar 4000 personil KNIL dengan keluarga mereka melalui laut ke negeri Belanda.28
Di tempat yang baru, mula-mula mereka hidup terpisah dari komunitas Belanda dan tetap memelihara kebudayaan dan Kekristenan tradisionalnya secara ketat. Buku-buku nyanyian “Mazmur dan Tahlil” dan “Dua Sahabat Lama” merupakan buku-buku nyanyian resmi dalam ibadah-ibadah jemaat29 dan “pakaian hitam” yang dikenakan pada hari-hari raya gerejawi (terutama ibadah Jumat Agung). “Piring Nazar” sebagai pusat tempat doa dan janji, tetap terpelihara dengan baik. Padahal tradisi yang disebut terakhir (piring natzar) sudah mulai ditinggalkan oleh warga GPM di Maluku.
Sejak tiba di Belanda orang-orang Maluku ini tidak berin-tegrasi ke dalam jemaat-jemaat GKN (Gereformeerde Kerken in Nederland) dan NHK (Nederlandse Hervormde Kerk) melainkan mendirikan gereja-gereja sendiri. Gereja-gereja yang didirikan antara lain ialah Gereja Injili Maluku (GIM) memiliki anggota terbanyak, Noodgemeente Gereja Protestan Maluku di Belanda (NGPMB), NGPMB Maret 1935, Gereja Protestan Maluku Tenggara (GPMT), Gereja Kristen Maluku Selatan (GKMS), dan Gereja Protestan Maluku. Jumlah anggota seluruh gereja berkisar sekitar 50.000 jiwa. Gereja-gereja ini sejak awal telah mengadakan hubungan dengan gereja induk (GPM) di Maluku melalui kehadiran dalam persidangan-persidangan Sinode yang diadakan oleh GPM dan sejak tahun 1970-an selalu menjadi peninjau dalam Sidang-sidang Raya PGI. Gereja-gereja ini juga menjadi anggota dari World Council of Churches (WCC).
Gereja-gereja membenahi diri
Tantangan yang bersifat eksternal dan internal yang dialami oleh gereja-gereja itu ternyata telah dijawab secara positif. Hal ini terlihat dari pembaruan-pembaruan yang diadakan dan perkembangan-perkembangannya cukup signifikan yang dicapai di berbagai bidang.
Pembaruan-pembaruan pertama-tama nampak dalam bidang organisasi gereja. Hal ini merupakan prioritas pertama karena keadaan geografi Maluku yang terdiri dari ratusan pulau besar dan kecil yang tersebar dalam suatu daerah yang cukup luas (77.870,56 KM2). Dalam hal ini sistem yang sentralistis secara mutlak agak sulit diterapkan disebabkan oleh faktor jarak dan transportasi antara pusat (kebanyakan gereja berpusat di kota Ambon) dan jemaat-jemaat yang terletak di pulau-pulau. Untuk mengatasi persoalan ini gereja-gereja menetapkan pusat-pusat koordinasi untuk wilayah tertentu. Misalnya di lingkungan GPM, ditetapkan Ternate untuk Maluku Utara, Masohi untuk Maluku Tengah dan Tual untuk Maluku Tenggara. Di tingkat Badan Pekerja Harian Sinode ditetapkan pula tiga visitator yang masing-masing diberikan tanggung jawab atas ketiga wilayah itu.
Tugas mereka ialah menyampaikan semua kegiatan dan informasi dari pusat ke klasis (jemaat-jemaat) dan sebaliknya menyampaikan informasi dan persoalan-persoalan dari klasis (jemaat-jemaat) yang berada di bawah tanggung jawabnya kepada pimpinan gereja di pusat BPH Sinode.30 Sedangkan di lingkungan Gereja Katolik ditetapkan Ternate untuk Maluku Utara, Langgur (Tual) untuk Kepulauan Kei dan Saumlaki untuk Kepulauan Tanimbar (Maluku Tenggara). Sub-sub pusat ini berfungsi mengkoordinasi semua kegiatan pelayanan pada klasis-klasis atau paroki-paroki yang ada di daerahnya.
Pembaruan juga dilakukan di bidang pendidikan tenaga-tenaga pelayan gereja. Perkembangan umat kristiani sesudah tahun 1950 terutama secara kuantitatif cukup pesat. Terutama sejak dicanangkan pembangunan nasional sejak tahun 1969 di semua bidang dengan konsentrasi pada bidang ekonomi telah menciptakan peningkatan di berbagai bidang (ekonomi, kesehatan, pendidikan, dan lain-lain.). Semuanya mempunyai dampak positif bagi pertumbuhan penduduk baik secara nasional maupun lokal (Propinsi Maluku tercatat 1.851.087 jiwa).31 Dari jumlah itu terdapat kurang lebih 838.225 jiwa (45%) warga Kristen yang tersebar dari kota sampai ke desa-desa terpencil di sebagian besar kepulauan Maluku.32 Konsentrasi-konsentrasi umat kristiani yang terdapat di Maluku Tengah (Ambon, Lease dan Seram Barat dan Selatan), Maluku Tenggara (Kei, Aru, Tanimbar dan pulau-pulau Selatan Daya). Pembaruan di bidang ini merupakan suatu kebutuhan yang juga dirasakan cukup mendesak. Dalam hal ini terdapat antara lain dua alasan mengapa perlu diadakan pembaruan. Pertama, bagi pimpinan gereja-gereja, peningkatan kualitas hidup anggota jemaat tidak dapat dipisahkan dari peningkatan kualitas calon tenaga pelayan yang dihasilkan oleh lembaga pendidikan teologi. Kedua, sejalan dengan pembangunan nasional yang berlangsung di semua bidang yang di dalamnya juga gereja-gereja harus ikut berperan, calon pelayan yang dipersiapkan perlu dibekali pula (selain ilmu teologi), dengan pengetahuan umum. Hanya dengan demikian ia memiliki kecakapan untuk memotivasi dan mendorong warga gereja yang dipimpinnya guna mengambil bagian secara aktif dan konstruktif di dalam pembangunan.
Seiring dengan pembaruan di bidang ini gereja-gereja selain mempersiapkan tenaga-tenaga pelayan tingkat menengah (D-1 dan D-2), tetapi juga tingkat Tinggi (Sarjana, Master dan tingkat doktoral) untuk melayani warga gereja yang tersebar baik di jemaat-jemaat terpencil maupun jemaat-jemaat kota yang dari segi pendidikan rata-rata lebih tinggi.
Kini beberapa gereja membuka pendidikan teologi sendiri, misalnya Fakultas Teologi Universitas Kristen Indonesia di Maluku dari GPM, dan GMIH dengan Sekolah Tinggi Teologi GMIH. Gereja-gereja lainnya pada umumnya mengirim calon-calonnya untuk studi di perguruan tinggi teologi di luar Maluku, misalnya Gereja Katolik di Seminari Tinggi Pineleng di Tomohon (Sulawesi Utara).
Pembaruan-pembaruan yang diadakan di bidang organisasi dan pendidikan teologi serta bidang-bidang lainnnya, telah meningkatkan pula pelayanan pada seluruh anggota jemaat. Bukan saja terjadi pelayanan yang cukup efisien karena adanya organisasi yang lebih baik tetapi dengan tersedianya jumlah tenaga pelayan yang memadai secara kuantitatif dan kualitatif, sedikit banyak telah mempengaruhi peningkatan kualitas hidup warga gereja, baik secara rohani maupun jasmani.
Sebagai gambaran, jumlah tenaga pelayan GPM ada sekitar 715 orang pada Oktober 2002.
Hubungan Oikumenis di antara gereja-gereja
Terutama di tingkat lokal, kerja sama di antara geeja-gereja yang mempunyai pusat kegiatan di kota Ambon – bukan sesuatu yang baru. Hal demikian pernah dilakukan (karena dipaksa) pada masa pendudukan Jepang melalui wadah Ambon-Syu Kiristokyo Rengokai (AKR= Penggabungan Gereja-gereja Masehi di kota Ambon). Walaupun sesudah perang wadah ini tidak berfungsi lagi, namun hubungan kerja sama di antara gereja-gereja tidak hilang sama sekali. Hal itu terlihat dalam kesediaan warga dari gereja-gereja ini untuk ikut serta dalam kegiatan-kegiatan yang diputuskan dan dilakukan bersama, misalnya dalam perayaan bersama. Hubungan di antara gereja-gereja di Maluku pada dekade tahun 1950-an telah diadakan tetapi belum terlampau menonjol. Hal demikian disebabkan oleh pengalaman beberapa gereja (GPM dan GMIH) yang kurang baik dalam hubungan dengan gereja-gereja yang lain (Bala Keselamatan, Gereja Advent Hari Ketujuh, Gereja Pentakosta dan Gereja Katolik). Anggota-anggota dari kedua gereja ini selalu menjadi incaran gereja-gereja lain dan beberapa daerah yang dianggap daerah pelayanan mereka dimasuki oleh tenaga-tenaga misi Katolik.33 Kerja sama oikumenis kemudian lebih diintensifkan terutama di antara gereja-gereja anggota DGI sesuai program kegiatan yang digariskan oleh wadah induk yakni Dewan Gereja-Gereja di Indonesia (DGI). Gereja-gereja dimaksud ialah GMIH, dan kemudian Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS). Selain kegiatan-kegiatan yang diturunkan dari DGI juga diadakan kegiatan-kegiatan yang digariskan bersama, misalnya pengadaan ceramah-ceramah dan Penelahan Alkitab bersama yang diikuti oleh wadah wanita gereja-gereja anggota, pertukaran mimbar pada hari Minggu dalam rangka peringatan Hari Ulang Tahun DGI (tgl. 25 Mei) dan perayaan Natal bersama. Dalam membina kerja sama oikumenis antara gereja-gereja, kerja sama GPM dengan Gereja Katolik mempunyai nilai tersendiri. Selain bentuk-bentuk kerja sama yang telah dikemukakan, pimpinan GPM dan pimpinan gereja ini telah mengadakan kerja sama khusus dalam rangka penyelesaian persoalan-persoalan yang menyangkut warga kedua belah pihak, misalnya dalam hal pemberkatan nikah (penganut Katolik dan Protestan) dan ketegangan yang timbul terutama di daerah-daerah yang jauh dari pusat.
Ketegangan timbul selain disebabkan oleh sejarah masa lampau (persaingan antara para zendeling dan misionaris dalam memperebutkan daerah pekabaran Injil) juga karena masing-masing pihak ingin menang sendiri. Di Kei misalnya, kelompok Katolik dan Protestan masing-masing berusaha memacu pembangunan fisik untuk kalangan sendiri. Sikap demikian kadang-kadang menimbulkan rasa iri dari salah satu pihak yang tidak jarang bermuara pada ketegangan dan bentrokan fisik. Di sini ketegangan tidak bakal timbul apabila terdapat kerja sama yang baik di antara pimpinan kedua gereja baik di pusat maupun di daerah-daerah yang jauh dari pusat (Ambon).
Kini gereja-gereja yang tergabung di dalam Persekutuan Gereja-gereja Wilayah Maluku (PGIW Maluku) telah bertambah menjadi sepuluh gereja yakni GPM, GMIH, GBIS, Gereja Bethel Indonesia (GBI), Gereja Pentakosta Pusat Surabaya (GPPS), Bala Keselamatan (Salvation Army), Gereja Kalam Kudus, Gereja TUHAN di Indonesia dan Gereja Perjanjian Baru.
Hubungan gereja dengan pemerintah setempat
Pada umumnya hubungan ini bertolak dari suatu visi bahwa gereja menghormati pemerintah dan peraturan-peraturannya karena masing-masing mempunyai kedaulatannya sendiri. Walaupun demikian penghormatan itu yang diperlihatkan oleh gereja berada dalam kerangka ketaatannya kepada Firman Allah. Bahwa sikap yang harus diperlihatkan oleh gereja dalam hubungan dengan pemerintah (negara) adalah sikap yang dilandaskan pada isi kesaksian Alkitab. Gereja yang berada di tengah-tengah masyarakat tidak dapat bahkan tidak boleh menjauhkan diri dari pemerintah. Walaupun demikian hubungan dengan pemerintah itu harus dimaksudkan untuk menyatakan bahwa Yesus Kristus adalah TUHAN dan maksud ini harus dijadikan kriteria tertinggi. Kriteria ini harus dipegang teguh dan tidak boleh dikorbankan hanya untuk tujuan tertentu, misalnya agar tidak menimbulkan dengan pihak pemerintah.
Prinsip demikian nampak jelas pada masa pendudukan bala tentara Jepang di Maluku (1942-1945). Di satu pihak pimpinan GPM merasa terpanggil untuk mengakui dan menghormati kekuasaan dan kewibawaan penguasa Jepang, tetapi pada pihak yang lain ia dengan tegas memposisikan diri sebagai gereja pengemban tugas profetis yang mandiri, sama seperti peranan para nabi Perjanjian Lama.34 Pandangan ini dipertahankan secara konsekuen walaupun harus ditebus dengan pengorbanan jiwa puluhan pendeta dan guru jemaatnya.35 Prinsip demikian masih tetap dipertahankan secara konsekuen pada dekade-dekade sesudahnya.
Apabila dalam suatu kasus atau peristiwa atau keadaan, gereja dipaksa agar mengambil keputusan yang menentukan, maka gereja harus tanpa ragu berdiri di atas keyakinannya dan menyatakan kritiknya dalam rangka melaksanakan panggilannya terhadap pemerintah.
Sikap demikian telah diperlihatkan antara lain oleh GPM dalam isi selebaran yang disebarkan kepada jemaat pada tahun 1957. Isinya menyatakan keberatan pimpinan GPM terhadap tindakan beberapa oknum aparat keamanan yang mewajibkan beberapa warga GPM melakukan kegiatan membantu mereka pada hari Minggu (pada saat jam ibadah). Tindakan demikian dinilai menyalahi kebiasaan warga GPM untuk beribadah pada waktu itu. Ketegangan di antara GPM dan pemerintah daerah (militer) semakin meninggi ketika selebaran itu disita oleh pihak kepolisian di beberapa tempat (di Saparua). Persoalan ini kemudian dapat diselesaikan setelah diadakan dialog dan timbul saling pengertian di antara kedua belah pihak.36
Dalam berhadapan dengan pemerintah (Daerah) di tingkat lokal boleh dikatakan berlangsung cukup baik selama periode 1960-an sampai 1990-an. Hubungan demikian dapat tercipta karena adanya saling pengertian dan kesadaran atas realitas keberadaan dan fungsi masing-masing yang walaupun berbeda tetapi saling membutuhkan satu sama lain.37 Hubungan baik yang terbina nampak bukan saja dalam hal tidak pernah terjadi ketegangan mencolok tetapi juga dalam hal dukungan materiil dan moriil yang diberikan oleh pihak pemerintah daerah kepada badan-badan yang berada di lingkungan gereja-gereja (a.l. bantuan guru bagi yayasan persekolahan Kristen dan keuangan kepada lembaga pendidikan teologi). Sebaliknya dari pihak gereja-gereja, dukungan diberikan kepada pemerintah dalam bentuk bantuan menyebarluaskan semua informasi yang menyangkut program pemerintah kepada warga gereja (Pemilu 1971-1999), Program Pembinaan Kesejahteraan Keluarga, Program Keluarga Berencana dan lain-lain.
Adanya hubungan yang positif ini tidak dapat dipisahkan dari beberapa faktor. Salah satu di antaranya ialah tugas gereja yakni menggumuli permasalahan-permasalahan yang dialami oleh bangsa dan negara sejalan dengan tugas yang diemban oleh pemerintah untuk mensejahterakan masyarakat. Dalam Keputusan Sinode GPM 1976 misalnya pada pokok “Gereja dan Masyarakat” tertulis antara lain:
“Kehadiran Gereja dalam tugas pengutusannya ke dalam dunia, tidak dapat melepaskan diri dari setiap permasalahan yang menyangkut seluruh aspek kehidupan bangsa dan negara, karena Gereja diutus untuk dan di dalam kesulitan dunia”
Hubungan dengan umat Islam
Pada dasarnya pihak penguasa Islam di Indonesia cenderung tidak menginginkan perkembangan agama Kristen di daerah kekuasaannya ketika agama ini mulai diperkenalkan oleh bangsa Eropa (Portugis dan Belanda) sejak awal abad ke-16. Kecenderungan demikian disebabkan oleh latar belakang historis yakni perang salib di Eropa dan Timur Tengah antara orang-orang Kristen dan Islam (sekitar tahun 1050 s/d 1450-an). Selain itu munculnya Kekristenan merupakan penghambat terhadap kekuasaan politis dan perkembangan agama Islam di antara penduduk yang beragama asli di wilayah kekuasaannya. Hal demikian menyebabkan sering timbul perlawanan dari pihak penguasa Islam, bukan saja terhadap kedua penguasa Barat tetapi juga terhadap orang-orang Kristen Indonesia, termasuk di Maluku (Tengah).
Ketegangan-ketegangan yang timbul demikian semakin berkurang sejalan dengan pengukuhan kekuasaan Belanda atas kerajaan-kerajaan Islam yang ada, termasuk di Maluku, sejak pertengahan abad ke-17.38 Mulai saat itu komunitas Islam di Maluku khususnya semakin menarik diri ke dalam lingkungan sendiri (eksklusif).39 Sikap ini berlangsung sampai dengan saat pendudukan Jepang (1942).
Sikap penarikan diri ini menyebabkan jarang terjadi konflik dengan orang-orang Kristen. Selain itu, di beberapa bagian daerah Maluku, terutama di Maluku Tengah, yang merupakan basis Kekristenan, hubungan antara komunitas Kristen dan Islam sangat erat. Hubungan demikian terwujud karena faktor “ikatan suku” dan “ikatan kekeluargaan” masih terasa sangat kuat.
Orang Kristen dan Islam di sini umumnya menganggap diri berasal dari UPU (datuk) yang sama. Hal ini terlihat dalam persamaan nama kampung (misalnya Siri-Sori Islam dan Siri-Sori Kristen) dan nama keluarga yang sama (misalnya Hehanussa). Juga, ikatan yang erat terwujud pula dalam ikatan pela. Ikatan genealogis dan pela ini berhasil mengatasi perbedaan agama yang terdapat di antara keduanya.40
Benar, pada tempat-tempat tertentu di daerah pelayanan gereja (terutama yang jauh dari pusat): pulau-pulau Kei, Sula, dan lain-lain kadang-kadang terjadi pertikaian antara orang-orang Kristen dan Islam. Tetapi biasanya ketegangan itu dapat diselesaikan oleh para pemimpin kedua belah pihak atau oleh pemerintah setempat.
Pada dekade 1980-an – sadar atau tidak – mulai timbul batas pemisah di antara kedua komunitas. Sebenarnya batas pemisah ini telah terasa sejak zaman pendudukan Jepang ketika orang-orang Islam di bawah pimpinan Kabayashi Tetsuo (seorang Jepang yang pernah belajar di Universitas Al Ashar Mesir) yang kemudian mempergunakan nama Haji Umar Faisal mengorganisasikan diri dalam Djamijah Islamijah Ceram dengan tujuan mengtransformasikan diri secara total demi terciptanya suatu era baru bagi kaum Muslim Ambon di masa depan.41 Juga pada beberapa saat sebelum peristiwa RMS, beberapa kampung Islam enggan bekerja sama dengan gerakan itu karena puluhan orang Islam dibunuh oleh special troepen (pasukan elit KNIL). Situasi demikian ternyata dipengaruhi oleh perkembangan yang terjadi di tingkat nasional maupun lokal. Di tingkat nasional, di akhir dekade 1960-an, sesudah G-30/S-PKI, timbul isu kristianisasi yang dilontarkan oleh tokoh-tokoh Islam terhadap tokoh-tokoh Kristen. Isu ini ternyata telah menimbulkan bentrokan-bentrokan fisik dan pembakaran gedung-gedung gereja seperti yang terjadi di Meulaboh (Juni, 1967) dan Makassar (menjelang SR VI DGI, 1 Oktober 1967). Selain itu, sejak parohan kedua dekade 1980-an, di tingkat elit pemerintah pusat dilontarkan gagasan majority proporsional approach. Konsekuensi yang lahir dari penerapan gagasan demikian antara lain ialah penempatan tenaga-tenaga pada posisi-posisi di segala bidang dan jenjang pemerintahan dilakukan berdasarkan pendekatan mayoritas-minoritas (secara nasional). Sebagai akibatnya ialah posisi penting di bidang pemerintahan yang sejak lama ditempati oleh orang-orang Kristen terutama di Maluku kini mulai diambil alih oleh orang-orang Islam. Namun di dalam kenyataan upaya penerapan gagasan di atas tidak selalu berjalan mulus karena pada instansi tertentu dominasi orang-orang Kristen tidak mudah dihilangkan, misalnya pada Universitas Pattimura. Sedangkan di tingkat lokal, masuknya para pendatang terutama dari Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara yang tak terbendung sehingga bukan saja persaingan dibawa masuk tetapi juga lapangan kerja di kantor-kantor pemerintah dan swasta yang sebenarnya harus diprioritaskan kepada penduduk setempat, ditempati oleh mereka.
Perkembangan yang terjadi baik di tingkat nasional maupun lokal di atas menyebabkan timbul suasana khas di dalam masyarakat. Yang dimaksud, secara formal nampak adanya hubungan yang “harmonis” di antara komunitas Kristen dan Islam. Situasi demikian terlihat pada upacara panas pela. Tetapi apabila diteliti lebih seksama, ternyata di dalamnya sedang berkembang pula suatu suasana disharmonisasi. Di satu pihak, komunitas Kristen merasa disingkirkan dari posisi-posisi yang sejak lama ditempati dan yang seharus-nya menjadi hak mereka sebagai penduduk “asli” dan pada pihak yang lain komunitas Islam merasa hak mereka sebagai bagian mayoritas dari bangsa Indonesia tidak dapat dinikmati sepenuhnya, padahal selama masa pemerintah kolonial Belanda mereka diper-lakukan secara tidak adil.
Suasana disharmonisasi yang mewarnai hubungan komunitas Islam Kristen yang setiap saat dapat menjurus kepada konflik fisik, telah diantisipasi oleh gereja. Untuk itu gereja-gereja selalu mendukung semua kegiatan dialogis antar umat beragama yang dilakukan oleh pemerintah (Departemen Agama) dan Pemerintah Daerah demi terciptanya kerukunan yang langgeng dan lestari di antara komunitas Kristen dan Islam.
Sikap gereja-gereja antara lain tampak dalam keterlibatan UKIM pada wadah Lembaga Pengkajian Antar Umat Beragama (LPKUB).
LPKUB dibentuk oleh Departemen Agama bersama Depar-temen Dalam Negeri dengan pusat di Yogyakarta dan cabang-cabangnya terdapat di Medan (Sumatera) dan Ambon (Maluku). Khusus LPKUB cabang Ambon, anggota-anggotanya terdiri dari dosen-dosen Universitas Pattimura (UNPATTI), Universitas Kristen Indonesia Maluku (UKIM), Universitas Darusalam (UNIDAR), Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi “TRINITAS” (Katolik), Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Ambon dan wakil-wakil agama Hindu dan Budha di kota Ambon. Tujuan lembaga ialah: “diperolehnya hasil-hasil kajian dan pemikiran yang komprehensif dan mendalam tentang berbagai masalah kerukunan umat beragama dalam upaya mengembangkan dan meningkatkan hubungan antar umat beragama ke arah yang lebih harmonis, dinamis, kreatif dan produktif” (A.D. psl. 4)
Selain itu gerejapun menempuh beberapa upaya a.l. misalnya mendalami teologi agama-agama dan agama Islam melalui seminar-seminar yang diadakan untuk itu.
Perkembangan terakhir: Situasi pada saat Kerusuhan
Usaha semua umat beragama (Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu dan Budha) untuk menciptakan kerukunan yang langgeng dan lestari ternyata tidak dapat dipertahankan selalu. Hubungan yang tidak harmonis yang sudah sejak lama ada, sehingga tampaknya hanya tinggal menunggu waktu untuk bermuara pada konflik fisik. Dan hal itu terbukti dengan timbulnya bentrokan fisik pada peristiwa yang terjadi pada tanggal 19 Januari 1999 yang dipicu oleh pertikaian pribadi di antara 2 pemuda yang masing-masing beragama Islam dan Kristen. Pertikaian yang semula dianggap merupakan kriminal murni, ternyata telah menimbulkan konflik yang berkepanjangan antara komunitas Islam dan Kristen yang bernuansa SARA (suku, agama, ras dan antar golongan). Pertikaian ini kemudian telah melahirkan kehancuran secara fisik (rumah, gedung ibadah dan fasilitas umum) dan psikologis dalam bentuk peng-identifikasi-an komunitas Kristen dengan “Obed” (nama Kristen) dan muslim dengan “Acang” (dari nama Islam: Hasan) yang masing-masing melihat pihak yang lain sebagai musuh. Selain itu juga terjadi pemisahan secara tegas lokasi yang dihuni oleh kedua komunitas.
Sikap gereja-gereja dalam menghadapi realitas konflik antara warga gereja dengan orang-orang Islam ini sejak awal adalah sama. Konflik ini dilihat sebenarnya adalah pertikaian biasa tetapi yang telah direkayasa oleh kelompok elit tertentu baik di pusat (Jakarta) maupun lokal guna mencapai tujuan politik mereka. Oleh sebab itu pertikaian ini harus diselesaikan secepat mungkin untuk menghindari korban jiwa dan harta benda yang lebih besar. Pernyataan perdamaian yang diadakan dengan MUI cabang Ambon (22 Pebruari 1999) yang disponsori oleh GPM dan seruan kepada seluruh warga gereja untuk menahan diri dan tidak menyerang pihak lainnya, merupakan petunjuk yang konkret.
Konflik fisik yang terjadi bukan saja terbatas di Kota Ambon dan sekitaranya, tetapi juga telah menyebar ke pulau-pulau lain (Haruku, Seram, Buru, pulau-pulau Sula, Banda, Kei, Bacan dan Obi). Daerah yang paling terakhir dilanda konflik adalah Maluku Utara (Halmahera: Jailolo, Ibu, Galela, Morotai, Tobelo, Weda, dan Payahe).
Konflik ini sebenarnya dapat diatasi dalam waktu singkat kalau pertikaian ini melulu merupakan pertikaian internal antara orang Kristen dan muslim Maluku. Tetapi fakta di lapangan telah melahirkan dugaan kuat bahwa kerusuhan/pertikaian ini telah dirancangkan sebelumnya oleh pihak elit tertentu baik di tingkat pusat maupun lokal. Atau setidak-tidaknya kerusuhan ini kemudian telah dilihat dan dimanfaatkan oleh orang atau kelompok tertentu baik di tingkat pusat maupun di daerah untuk mencapai tujuan tertentu.
Situasi kerusuhan semakin meluas dan intens dengan kehadiran laskar jihad yang berjumlah ribuan banyaknya dan diperlengkapi dengan senjata organik TNI memberi indikasi yang kuat bahwa terdapat target-target tertentu yang hendak dicapai melalui kerusuhan ini oleh kelompok muslim.42 Hal ini nampak a.l. dalam bentuk melanggengkan kerusuhan melalui teror yang dilakukan terhadap komunitas Kristen baik di kota Ambon maupun di desa-desa Kristen yang terpencil di pulau-pulau sekitar (Lease, Seram dan Buru). Adanya upaya yang secara teratur dan terencana merebut dan menguasai desa-desa Kristen – yang terletak terpencil dan berdekatan dengan desa-desa Muslim (a.l. Waai, Hila, Larike di pulau Ambon; Haruku-Sameth, Siri Sori Serani dan Pia di Lease; Sanana di pulau Sula; Banda Neira, Ay, Rhum, Lonthar dan Hatta di pulau Banda; Seriholo, Loki, Buano Selatan dan Alang Asaude di pulau Seram; Ternate dan Soa-Siu di Maluku Utara; Labuha, Babang, Lata-lata di pulau Bacan; Geser, Bula, Solan, dan lain-lain. di Seram Timur) sebagai perwujudan gagasan relokasi yakni menguasai daerah-daerah tertentu yang kelak hanya didiami oleh komunitas Muslim saja, seperti kepulauan Banda dan Seram Timur dan penerapan Syariat Islam di sana.43
Desa-desa Kristen yang sudah dihancurkan dan daerah-daerah sekitarnya langsung dikuasai dan timbul dugaan yang kuat, daerah itu tidak akan dikembalikan kepada komunitas Kristen. Yang paling mencolok adalah kepulauan Banda. Semua orang Kristen diusir dan kini berada di kota Ambon sebagai pengungsi. Semua aset komunitas Kristen diambil alih, bukan saja rumah, harta milik dan tanah sekitarnya, tetapi juga gedung gereja peninggalan VOC di kota Banda Neira dan gedung gereja yang berdiri sejak tahun 1627 di pulau Ay dihancurkan. Selain itu arsip peninggalan VOC yang disimpan dalam konsistori gedung gereja Banda Neira dijarah. Juga gedung gereja di Hila (pulau Ambon) peninggalan zaman Portugis ikut dibakar dan dihancurkan.
Menurut laporan resmi pimpinan Sinode GPM, sebagaimana disampaikan dalam Sidang Sinode XXXIV GPM, tahun 2001, selama kerusuhan di Maluku (tanpa Maluku Utara) sejak tanggal 19 Januari 1999 sampai dengan Pebruari 2001, kerugian yang dialami GPM adalah sebagai berikut: 6 (enam) Klasis untuk sementara tidak berfungsi karena pusat (kantor) klasis hancur dan jemaat-jemaat di daerah pelayanannya diusir, dan kini berada di tempat-tempat pengungsian. Klasis-klasis dimaksud ialah: Pulau-pulau Banda, Taluti (Seram), Ternate (Maluku Utara), Buru Utara, Bacan, Obi (Maluku Utara, dan Seram Timur). Jumlah jemaat yang dilanda kerusuhan dan sebagian besar atau seluruh anggota jemaatnya mengungsi sebanyak 163 jemaat. Jumlah Kepala Keluarga yang mengungsi sebanyak 15.612 dengan jumlah jiwa sebanyak 82.906. Jumlah rumah yang terbakar sebanyak 12.861 buah, dan gedung gereja sebanyak 150 buah.44 Dari pihak Gereja Katolik, jumlah gedung gereja yang terbakar sebanyak 66 buah, rusak berat 3, dan sebuah kompleks Ziarah S.P. Maria di Ahuru hancur.45
Selama kerusuhan ternyata bukan saja orang-orang Kristen diusir dari kampung halamannya tetapi juga beberapa di antaranya dipaksa memeluk agama Islam, misalnya penghuni beberapa desa di pulau Teor dan Kesui, juga penduduk desa-desa Salas, Bonfia dan Bula (Seram Timur).46
Prospek Gereja-gereja di Maluku ke depan
Kerusuhan yang melanda Maluku dan Maluku Utara telah mengubah peta pelayanan gereja-gereja yang terdapat di kawasan itu. Dengan kehilangan puluhan jemaat di lingkungannya, menyebabkan daerah pelayanan gereja-gereja untuk sementara menjadi lebih sempit. Dikatakan untuk sementara, karena kini tengah diusahakan oleh pimpinan-pimpinan gereja – dan hal inipun merupakan janji pemerintah – untuk mengembalikan para pengungsi ke daerah asalnya. Juga karena tanah yang ditinggalkan itu merupakan warisan dari para leluhur kepada mereka yang dijamin oleh undang-undang pemilikannya. Kini sejumlah pengungsi mulai dikembalikan ke daerah asal seperti Teor, Kesui, Bacan Obi dan Buru Utara. Juga di Maluku Utara, jemaat-jemaat GMIH dan GPM yang mengungsi di Minahasa (Sulawesi Utara) kini dalam proses dikembalikan ke daerah asal (Ternate dan Halmahera) yang dilakukan oleh pemerintah propinsi Maluku Utara bekerjasama dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
Walaupun gereja-gereja mengalami keterpurukan, tetapi suatu kenyataan positif yang terlihat ialah bahwa Kekristenan telah berakar mendalam di dalam benak anggota-anggota jemaat berkat pembaruan dan pelayanan intensif yang dilakukan oleh gereja-gereja sebelumnya. Hal itu terlihat jelas dalam sikap mempertahan-kan diri dan imannya di tengah ancaman-ancaman pihak komunitas muslim dan rela meninggalkan kampung halaman mereka demi mempertahankan iman yang diyakini.
Dalam menyikapi kerusuhan yang terjadi pimpinan gereja-gereja telah menggariskan beberapa kebijakan. Dua di antaranya ialah:
Pertama, jemaat-jemaat yang mengungsi di suatu klasis atau jemaat, tetap dipertahankan eksistensinya, tidak terlebur di jemaat-jemaat tempat pengungsian. Sejalan dengan itu jemaat-jemaat pengungsian tetap diakui dan diberi kelonggaran untuk menata kepentingannya secara mandiri (pelayanan, kesaksian dan kebutuhan finansialnya) dengan harapan pada waktunya, apabila kondisi keamanan telah memungkinkan, mereka dapat kembali ke tempat asal (kampung halamannya) masing-masing.
Kedua, pembaruan di bidang teologi umat. Realitas menunjukkan bahwa gereja berada di tengah-tengah suatu masyarakat yang pluralistik dari segi agama, kepercayaan, sosial, suku, budaya, dan lain-lain. Dan teologi umat harus terbuka terhadap realitas demikian. Itu berarti perlu pembaruan dan penafsiran kembali ajaran, dogma, missi (Pekabaran Injil), soteriologi demi penggarisan suatu teologi umat yang relevan, dinamis, dialogis dan kontekstual.

Diterbitkan oleh Sayang dan peduli

Peduli semua

Tinggalkan komentar